Dalam lintas sejarah, wajah pendidikan kita tak jarang dihiasi kekisruhan, kendala dan aneka macam persoalan. Akumulasi persoalan itu acapkali berakselerasi kepada mandegnya kegiatan praktis pendidikan (proses KBM di sekolah) dan makin surutnya mutu pendidikan kita dari waktu ke waktu. Akumulasi persoalan itu secara garis besar dapat dideretkan sebagai berikut. Pertama, masalah peran pemerintah (role of government). Pada posisi ini, dimensi pendidikan mendapat kendala ketika pemerintah selaku fasilitator dan instansi pendana pendidikan, terkesan tak peduli dengan pentingnya dunia pendidikan. Contohnya adalah, Pemotongan dana pendidikan berupa subsidi yang diberikan untuk PTN atau PTs. Reaksi terhadap tindakan pemerintah itu datang dari pelbagai kalangan bak cendawan di musim basah. Ada yang menilai itu sebagai satu keputusan "ceroboh", awal dari fenomena "pembodohan", mematikan kreativitas; bahkan ada yang menilainya sebagai tindakan tidak manusiawi lantaran berkurangnya dana pendidikan berakibat pada makin panjangnya barisan anak putus sekolah dan pengangguran. Ada sekian banyak implikasi lain lagi yang sempat diperdebatkan, terutama ketika beberapa PTN sekaliber UI, UGM, dan ITB menanggapinya begitu serius bahkan terkesan emosional.
Isu paling aktual adalah ketika pada presentasi RAPBN 2001, anggaran belanja untuk sektor pendidikan di luar dugaan sangat kecil. Pelbagai kalangan, terutama para akademisi pun mengemukakan beberapa analisis sekaligus mencari solusi. Mantan Guru Besar Universitas Padjajaran, Otto Soewarwoto, misalnya, melihat kenyataan itu sebagai "situasi memprihatinkan" bagi peningkatan mutu output pendidikan kita. Karena bagaimanapun, tullis Soewarwoto, "lingkaran setan" akan membingkai dunia pendidikan kita terutama bila dikaitkan dengan pengembangan apresiasi bidang pengkajian sains dan teknologi.
Sementara itu, Darmaningtyas dari LPIST menilai kondisi memprihatinkan ini sebagai ekspresi dari kurangnya perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Padahal, menurut Darmaningtyas, pendidikan merupakan pilar utama untuk memperbaiki mentalitas bangsa yang pada saat ini cenderung korup dan manipulatif. Hal senada dikemukakan oleh Ki Supriyoko ketika mengulas hasil kajian Bank Pembangunan Asia (ADB) terhadap masalah mutu pendidikan di Indonesia.
Kedua,tuntutan reformasi dan transformasi pendidikan yang bertabrakan dengan realitas sosio-kultural yang masih terkungkung di bawah paradigma lama: menunggu perintah (juklak), miskin inisiatif, dst. Ironisnya, sampai pada masa pasca Orde Baru pun hal itu masih sangat kuat. Barangkali ada benarnya mengapa George McTurnan Kahin, Indonesianist Eropa, dalam bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), menyebut bahwa kendala terbesar bagi demokrasi di Indonesia adalah "tabiat rakyatnya yang terlampau menunggu arahan dari atas". Itu berarti bukan persoalan bahwa reformasi/ transformasi tidak berjalan, melainkan terutama adalah apakah pola, tabiat dan mentalitas bangsa yang sudah mengakar ini sudah bisa dirubah?
Isu paling aktual adalah ketika pada presentasi RAPBN 2001, anggaran belanja untuk sektor pendidikan di luar dugaan sangat kecil. Pelbagai kalangan, terutama para akademisi pun mengemukakan beberapa analisis sekaligus mencari solusi. Mantan Guru Besar Universitas Padjajaran, Otto Soewarwoto, misalnya, melihat kenyataan itu sebagai "situasi memprihatinkan" bagi peningkatan mutu output pendidikan kita. Karena bagaimanapun, tullis Soewarwoto, "lingkaran setan" akan membingkai dunia pendidikan kita terutama bila dikaitkan dengan pengembangan apresiasi bidang pengkajian sains dan teknologi.
Sementara itu, Darmaningtyas dari LPIST menilai kondisi memprihatinkan ini sebagai ekspresi dari kurangnya perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Padahal, menurut Darmaningtyas, pendidikan merupakan pilar utama untuk memperbaiki mentalitas bangsa yang pada saat ini cenderung korup dan manipulatif. Hal senada dikemukakan oleh Ki Supriyoko ketika mengulas hasil kajian Bank Pembangunan Asia (ADB) terhadap masalah mutu pendidikan di Indonesia.
Kedua,tuntutan reformasi dan transformasi pendidikan yang bertabrakan dengan realitas sosio-kultural yang masih terkungkung di bawah paradigma lama: menunggu perintah (juklak), miskin inisiatif, dst. Ironisnya, sampai pada masa pasca Orde Baru pun hal itu masih sangat kuat. Barangkali ada benarnya mengapa George McTurnan Kahin, Indonesianist Eropa, dalam bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), menyebut bahwa kendala terbesar bagi demokrasi di Indonesia adalah "tabiat rakyatnya yang terlampau menunggu arahan dari atas". Itu berarti bukan persoalan bahwa reformasi/ transformasi tidak berjalan, melainkan terutama adalah apakah pola, tabiat dan mentalitas bangsa yang sudah mengakar ini sudah bisa dirubah?